Senin, 21 Maret 2011

“Aku bersyukur anakku masih hidup”


Ini bukan cerita tentang saya, tapi cerita tentang ibu yang tanpa sengaja berkenalan dengan saya di stasiun Jebres, Solo tanggal 30 Desember 2009 pada saat malam tahun baru. Tepatnya malam saat saya memutuskan untuk kembali ke Bandung setelah menghabiskan waktu satu minggu berlibur di rumah. Saya memilih malam tahun baru berpikir kereta Kahuripan itu tidak akan banyak penumpang di malam tahun baru, sehingga saya bisa mendapat tempat duduk.
Seperti biasa, setiap saya akan kembali ke Bandung, Mas saya yang selalu mengantar saya ke stasiun dan menemani saya menunggu kereta datang. Kereta kahuripan jurusan Jember – Bandung tiba di stasiun Jebres sekitar pukul 20.00 WIB, karena takut ketinggalan kereta saya bersama Mas saya selalu menunggu di stasiun sejak pukul 19.00 WIB. Di saat saya menunggu kereta datang, di samping saya duduk seorang ibu berusia sekitar 60 tahun sendirian sambil memegang teh hangat yang terbungkus di plastik bening. Saya memang mempunyai kebiasaan buruk tidak bisa menunggu sambil diam, walaupun ada Mas saya di samping saya saat itu. Akhirnya seperti biasa, saya pun langsung menyapa ibu itu (bagaimana kalo kita panggil saja Bu Mar, walau saya lupa nama aslinya). Percakapan saya dan Bu Mar pun dimulai.
Saya : “Assalamualaikum ibu, sendirian bu?”
Bu Mar : “Iya Neng, nunggu kereta.” (terukir senyum ramah di bibirnya)
Saya : “memang ibu mau pergi kemana?”
Bu Mar : “mau balik pulang ke Bandung Neng, tapi bingung.”
Saya : “bingung kenapa ibu?, bisa saya bantu?”
Mas saya yang menyadari percakapan saya dengan Bu Mar pun ikut mulai bergabung dalam percakapan itu. Walau Mas saya memang lebih banyak diam sich. Hehehe. Lalu percakapan saya dengan Bu Mar kembali berlanjut.
Bu Mar : “saya bukan orang daerah sini Neng, saya asli Bandung. Di sini saya menjenguk anak saya yang sakit. Sekarang saya bingung.”
Saya : “euhmm ibu maaf, boleh saya tahu anak ibu sakit apa?”
Bu Mar : “anak saya tinggal di Tawangmangu Neng, seminggu lalu saya dapat kabar bahwa anak saya mengalami musibah, lalu dengan uang seadanya saya langsung ke sini. Anak saya mengalami tabrak lari Neng. Saat mengalami musibah itu anak saya sedang hamil 7 bulan. Dia tidak hanya ditabrak Neng, tapi kakinya juga terlindas oleh kendaraan yang menabraknya.”
Saya : “innalillahi,.. lalu bagaimana kondisi anak ibu sekarang?”
Bu Mar : “Anak saya di bawa ke RS Jebres karena di Tawangmangu tidak ada RS yang bisa menangani kondisi anak saya. Jadi karena itu begitu tiba di Solo saya langsung ke RS menemani anak saya.”
Bu Mar sesaat diam termenung sebelum melanjutkan ceritanya.
Bu Mar : “kondisi anak saya cukup tidak beruntung Neng. Karena kecelakaan itu bayi dalam kandungannya meninggal, dan kedua kaki anak saya patah terpaksa harus diamputasi. Saya sedih melihat kondisi anak saya Neng, kondisinya hingga saat ini masih trauma. Dia sering teriak-teriak dan meminta sandal orang-orang yang menjenguknya. Walau berakhir seperti itu saya masih bersyukur karena anak saya masih hidup Neng, saya masih bisa melihat wajahnya di usia saya ini.”
Saya : “Ibu, yang tabah dan yang ikhlas ya Bu... lalu selama di Solo ibu tinggal dimana?”
Bu Mar : “saya tinggal menemani anak saya di RS Neng, karena saya juga tak punya uang buat menyewa kamar. Walau kondisi RS tidak nyaman, tapi saya tidak mau meninggalkan anak saya.”
Saya : “mengapa tak di rumah anak ibu Bu?”
Bu Mar : “rumah anak saya di Tawangmangu Neng, jauh. Saya juga sungkan dengan keluarga anak saya. Saya khawatir dengan kondisi anak saya setelah ini nanti bagaimana Neng. Suami anak saya adalah seorang tentara, anak saya mempunyai 2 anak, dan bayi yang meninggal adalah anak ketiganya. Neng sebagai wanita pasti tahu Neng bagaimana kekhawatiran saya. Saya takut Neng jika setelah ini anak saya tidak diterima dengan baik oleh keluarga suaminya. Saya sedih Neng karena saya tidak bisa membantu apa-apa karena saya juga hanya punya warung kelontong di Bandung, sehingga semua biaya RS ditanggung oleh suaminya.”
Sambil tetap bercerita Bu Mar meneteskan air matanya. Saya yang tidak bisa melakukan apa-apa saat itu hanya bisa diam menahan air mata saya.
Bu Mar : “Sekarang uang saya menipis Neng, jadi saya memutuskan untuk pergi ke Jogja dulu mencari anak saya yang lainnya untuk meminjam uang. Rencananya uang itu nanti akan saya gunakan untuk membawa anak saya ikut saya ke Bandung. Saya akan lebih tenang jika saya yang menjaga dan merawat anak saya Neng. Karena saya tahu hanya saya yang menerima dia apa adanya.”
Akhirnya air mata saya tak terbendung, dan bersama Bu Mar saya pun ikut menangis. Tapi sebelum melanjutkan cerita, tiba-tiba ada pengumuman kereta Kahuripan segera datang.
Saya : “Ibu, keretanya mau datang, ibu mau naik Kahuripan juga ke Jogja? Bareng saya yuk Bu..” (sambil memegang tangan Bu Mar).
Bu Mar : “makasih Neng, saya kereta pagi saja. Saya memang niat bermalam di stasiun dulu memikirkan apa yang seharusnya saya lakukan.”
Yang membuat saya sedih saat itu adalah ketika saya tidak punya apa-apa yang bisa saya berikan untuk membantu Bu Mar. Mengingat uang di kantong saya hanya cukup untuk angkot setibanya di Bandung nanti dan saya hanya membawa pakaian di tas saya. Kereta sudah membunyikan sirinenya. Dan sebelum menuju kereta saya bertanya satu pertanyaan lagi ke Bu Mar.
Saya : “Bu, rumah ibu di Bandung dimana ya Bu? Bolehkah saya berkunjung?”
Bu Mar : “dengan senang hati Neng, mampirlah Neng ke warung ibu. Rumah ibu di depan masjid X (karena keadaan ramai saya tidak terlalu jelas dengan nama masjidnya). Depan masjid pas ada warung, itu warung ibu, mampir ya Neng”
Saya : “insya Allah Bu. Saya pamit dulu ya Bu... ibu jaga diri dan salam untuk anak ibu.”
Saya pun hanya bisa sesaat memeluk Bu Mar dan mencium tangannya sebelum berangkat. Sedih rasanya hati ini, tapi saya hanya bisa berdoa semoga Allah menjaga Bu Mar dan anaknya serta mempertemukan saya kembali dengan Bu Mar.
Sekitar satu bulan sudah saya kembali di Bandung, karena tak terdengar jelas masjid yang dimaksud Bu Mar, saya masih sekedar mencari di masjid-masjid dekat kampus. Tetapi hasilnya nihil, hingga saat ini Allah belum kembali mempertemukan saya dengan Bu Mar. Bu Mar bagaimana keadaanmu sekarang? Apakah ibu sehat-sehat saja?... setiap teringat malam pertemuan kita, saya selalu mempunyai semangat hidup yang kuat karena saya tahu masih ada orang sekuat, setegar, dan seikhlas dirimu. Terima kasih Bu Mar... terima kasih. Semoga Allah selalu menjagamu. Amin.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar