Senin, 21 Oktober 2013

Mbah Nah

Saat ini, di tengah-tengah pertapaan saya, saya teringat salah seorang yang cukup berarti dalam kehidupan saya dan keluarga saya. Jika mungkin dari kalian hanya punya dua orang tua dan dua pasang kakek-nenek, bagi saya setiap orang tua dan seorang lansia yang saya kenal selalu saya anggap dan saya hormati seperti orang tua dan kakek-nenek saya sendiri. Salah satunya adalah Mbah Nah. Selama 23 tahun, saya hanya mengenal dan memanggil beliau 'Mbah Nah'. Mungkin saya pernah menanyakan nama lengkap beliau saat kecil, tetapi saya tidak dapat mengingatnya sekarang. Fyuhhh~~

Ada dua orang wanita lansia yang tinggal di dekat rumah saya, yaitu Mbah Sariyem dan Mbah Nah. Oke, saat ini saya hanya ingin mengenalkan kalian dengan seorang Mbah Nah. Saya tinggal di desa Manggung sejak saya berusia 4 tahun, bisa dikatakan sudah 19 tahun saya tinggal di desa itu. Selama 19 tahun itu pula saya bertetangga dengan Mbah Nah. Mbah Nah adalah salah seorang yang juga pernah memomong saya dan adik-adik saya waktu kecil. Walau saat kecil ibu saya kerja di pabrik dan sering kali meninggalkan saya dan saudara-saudara saya sendirian di rumah, ada Mbah Nah yang menemani kami. Mbah Nah adalah salah seorang teman bermain kami saat kecil hingga saat ini. Ia mencintai kami seperti cucunya sendiri. Salah satu kegiatan favorit saya di rumah adalah pergi ke pengajian, dan beliau adalah sahabat saya yang selalu bersedia menemani saya datang ke pengajian. Baik pengajian minggu pagi di kelurahan maupun pengajian malam hari di desa-desa tetangga. Tidak hanya sebagai teman saya bermain dan teman pengajian, beliau juga merupakan teman menyapu saya. Saat kecil saya yang masih berusia 6 tahun diminta ibu saya untuk mulai menyapu seluruh halaman rumah dan jalanan, ketahuilah saya sangat tidak suka melakukannya saat itu. Di tengah murungnya saya menjalankan kegiatan itu, Mbah Nah selalu membantu saya menyapu hingga akhirnya murung saya mereda. Dengan pendampingan Mbah Nah, saya pun tidak pernah merasa menyapu itu hal yang merepotkan lagi, karena saya bisa bermain dengan beliau sambil membantu ibu saya. Beliau adalah salah seorang di rumah saya yang akan menyambut saya dengan senyuman setiap pulang sekolah.

Mbah Nah adalah sosok yang rajin beribadah. Ia selalu mengusahakan diri untuk menjalankan sholat lima waktu di masjid. Ia tidak akan sholat di masjid hanya saat ada pekerjaan atau mungkin sedang sakit. Mbah Nah membiayai hidupnya dengan bekerja sebagai buruh tani. Setiap musim panen, beliau selalu siap bekerja membantu pemilik sawah untuk menuai padi, memanen kacang, dan segala kegiatan pertanian lainnya. Jika saat musim panen, beliau cukup banyak tawaran pekerjaan, tetapi jika tidak musim panen seringkali hanya satu atau dua kali sebulan bekerja dan hanya upah 10-20ribu perbulan yang ia dapatkan. Selama hidupnya, beliau tinggal seorang diri di sebuah gubug kecil menumpang di area rumah Mbah Sariyem. Beliau tidak memiliki keluarga maupun seorang anak, sehingga anak-anak tetangga di sekitarnya selalu beliau anggap sebagai anak dan cucunya sendiri. Oke, saya tidak ingin membuat cerita ini terdengar melow, tetapi sepertinya tetap mengarah kesana.

Mbah Nah dan barang-barang
pindahannya
Hidup dengan menumpang di tanah orang membuat hidup beliau diikuti dengan perasaan pasrah dan ikhlas. Tahun lalu sebagian tanah Mbah Sariyem, tepat dimana rumah Mbah Nah didirikan, terpaksa harus dijual karena kebutuhan ekonomi keluarga. Dengan perpindahan kepemilikan tanah itu pun, beliau harus bersiap-siap suatu saat pindah dari tanah tersebut. Tetapi mau kemana? sedangkan tidak ada satu pun keluarga yang ia miliki. Melihat kondisi tersebut pun, orang tua saya langsung menawarkan pertolongan kepada Mbah Nah untuk mendirikan rumahnya di samping rumah kami saja. Tetapi beliau menolak tawaran tersebut dengan alasan tidak ingin merepotkan keluarga kami. :(

Lokasi baru rumah Mbah Nah
Waktu berlalu, dan hingga akhirnya yang beliau khawatirkan benar terjadi. Tepat setelah lebaran idul fitri kemarin, beliau diminta oleh pemilik tanah yang baru untuk memindahkan rumahnya. Sungguh tragedi bahkan untuk saya sendiri yang menyaksikannya. Cukup beruntung oleh pemilik tanah yang baru, beliau hanya disuruh pindah ke tanah baru yang berjarak beberapa meter dari tanah yang lama. Tetapi saya tidak suka lokasi baru tanah beliau tinggal, karena itu jauh dari jalan dan menurut saya tidak aman untuk orang selansia beliau. Untuk kesekian kalinya saya tawarkan pada beliau untuk tinggal bersama keluarga saya, tetapi beliau menolak dengan tegas. Entahlah, saya tidak tahu harus melakukan apa lagi saat itu. Saya hanya bisa menghormati keputusan beliau dan membantu beliau untuk pindahan rumah saat itu.

Silahkan mengambil makna sendiri dari kisah Mbah Nah ini. Khusus untuk saya, saya sangat bersyukur memiliki beliau sebagai tetangga, teman dan sahabat saya di rumah. Dari beliau saya selalu ditegur untuk senantiasa bersyukur dengan betapa berharganya keluarga dan orang-orang yang mencintai saya. Keluarga dibentuk tidak hanya oleh ikatan darah, tetapi dari arti kehadirannya dalam kehidupan kita. :) Love you Mbah Nah... :')

Tidak ada komentar:

Posting Komentar