Senin, 12 Maret 2012

"Ilmu saya tidak dihargai di sini Neng.. "

Terlepas dari berbagai insiden yang cukup membuat saya menyipitkan mata hari ini karena sikap saya yang kurang hati-hati mulai dari kaki tersiram air panas bekas sterilisasi, tangan terflambir api bunsen, kunci kost yang ketinggalan di lab, dan tali tas ransel yang putus, saya mempunyai cerita yang menarik sore ini. (^_^)

Sore tadi setelah selesai bekerja di lab, saya menemani Manda untuk pergi ke lab hewan di SITH ITB lantai 4. Hal ini karena mencit yang dipelihara di lab hewan Farmasi sudah habis, terpaksa Manda harus beli di lab hewan SITH untuk diuji besok kamis. Setelah selesai memesan mencit ke Pak Aam, petugas lab hewan, kami berdua lanjut ke lantai satu SITH untuk mengambil hasil determinasi asam jawa yang dipesan oleh Manda.

Di lantai satu gedung SITH kami memasuki sebuah ruangan yang penuh dengan lemari kaca berisikan koleksi berbagai jenis tanaman yang telah dimumikan. Tepat saat membuka pintu, kita akan langsung melihat bunga bangkai yang juga telah dimumikan. Disamping kiri pintu terdapat sebuah ruangan berukuran 2x3 meter persegi. Di ruangan itu lah akan kita temukan sosok Pak Djuandi yang sedang sibuk dengan berbagai kerjaannya. Memang tujuan utama kami ke ruangan itu adalah untuk bertemu dengan Pak Djuandi, karena beliau lah yang bertanggung jawab untuk melakukan tugas determinasi tanaman. Sambil menunggu Pak Djuandi menemukan berkas yang diminta Manda, saya menyibukkan diri dengan melihat berbagai tanaman yang di koleksi di lemari kaca, sungguh koleksi yang sangat menarik.

Ketika saya sudah puas cuci mata saya kembali ke ruangan Pak Djuandi dengan perkiraan mungkin berkas yang dicari sudah ditemukan. Ternyata saat saya tiba, berkasnya masih belum ditemukan. Akhirnya sambil menunggu saya sibuk memperhatikan ruangan Pak Djuandi yang hanya berukuran 2x3 meter persegi tersebut. Ruangan sekecil itu cukup penuh dengan beberapa rak buku, wastafel, sisi untuk meletakkan beberapa tanaman yang harus dideterminasi, dan sebuah meja lengkap dengan komputer dan sebuah kursi yang sedang diduduki Pak Djuandi saat itu. Ruangan itu beraromakan kopi yang baru saja diseduh oleh Pak Djuandi. Sementara Manda mencoba membantu Pak Djuandi menemukan berkas yang ia cari, saya melihat sebuah foto menarik yang dipajang di kaca pintu ruangan itu. Foto itu adalah foto Pak Djuandi saat muda yang sedang merentangkan sebuah bendera bersimbolkan huruf N. Melihat huruf itu saya jadi menyimpulkan mungkin Pak Djuandi adalah alumni dari SITH ITB, karena organisasi mahasiswa SITH ITB dikenal dengan sebutan Nymphea. Akhirnya saya langsung saja bertanya kepada beliau, "Bapak, Bapak alumni ITB juga ya Pak?", padahal saat itu beliau masih sibuk mencari berkas, tetapi beliau tetap menjawab pertanyaan saya, "Oh tidak Neng.. Bapak mah lulusan swasta.". Ruangan tenang sesaat yang kemudian dilanjutkan dengan ucapan beliau yang menarik perhatian saya, "Ilmu Bapak mah di sini gak dihargai Neng..". Otomatis saya langsung merespon jawaban tersebut, "maksudnya bagaimana Pak?", dan kemudian Pak Djuandi menghentikan sesaat aktivitasnya untuk menjawab pertanyaan saya tersebut.

Setelah lulus SMA Pak Djuandi mulai mengabdikan diri bekerja di ITB sebagai pegawai taman sejak tahun 1980. Setelah kurang lebih 5 tahun beliau bekerja sebagai pegawai taman, beliau mulai ditugaskan untuk mengurus ruang determinasi tanaman tersebut. Pak Djuandi yang tidak mempunyai basic keilmuan di bidang karakterisasi tanaman akhirnya mempelajari semua ilmu tersebut secara otodidak karena beliau sudah memberanikan diri menerima tanggung jawab tersebut. Sebelumnya saat 5 tahun beliau menjadi petugas taman, beliau juga menyempatkan diri mengambil kuliah S1 di sebuah universitas swasta. Untuk jurusan dan nama universitasnya saya kurang tahu. Ada pernyataan menarik yang diucapkan oleh beliau saat menceritakan pengalaman beliau kepada saya, "Disini ya Neng, yang orang bawah harus belajar banyak hal dibanding orang yang di atas, kerjaannya juga lebih banyak, tetapi rejekinya beda. Bukan masalah uang juga Neng, tapi ilmu Bapak disini bener kurang dihargai, masih untung mereka yang jadi pustakawan, karya mereka masih bisa dihargai dan dinilai, tapi karya Bapak disini siapa yang lihat Neng? cuma Bapak seorang diri yang tahu karya itu, cuma Bapak yang mempelajari, kalau ingin dipublikasi siapa yang mau menerima Neng?", mungkin saya cukup mengerti apa yang ingin disampaikan oleh beliau, bahwa bukan penghargaan materi yang beliau inginkan, tetapi setidaknya sebuah pengakuan atas karya-karya yang beliau buat, tetapi semua terasa percuma karena akhirnya semua yang beliau buat tidak mampu dilihat dunia luar dan hanya terbungkus rapi dalam pustaka ruangan berukuran 2x3 meter persegi itu.

Kemudian beliau berhenti bercerita sejenak untuk melanjutkan pencarian berkas yang ditunggu oleh Manda. Setelah bekas itu ditemukan, kemudian beliau melanjutkan cerita tentang pengalamannya. Beliau sebenarnya mempunyai kesempatan untuk melanjutkan mengambil S2, tetapi beliau memantapkan pilihannya untuk tidak mengambil kesempatan tersebut. Saat saya menanyakan alasannya, beliau menjawab dengan sebuah senyuman yang ramah, "Saat itu Neng, bisa saja Bapak ambil kesempatan itu., tetapi setiap tahunnya hampir 20 mahasiswa membutuhkan bantuan Bapak di ruangan ini, kalau Bapak tinggal untuk melanjutkan S2 selama 4 tahun, maka bisa ada 80 mahasiswa yang tidak lulus karena Bapak, maka dari itu Neng Bapak memutuskan untuk tetap berada di tempat ini membantu mahasiswa yang membutuhkan bantuan Bapak.", subhanallah. :'(

Selanjutnya beliau menceritakan bahwa dahulu pernah ada juga mahasiswa farmasi yang membutuhkan bantuan beliau untuk menyediakan sebuah tanaman yang akan diteliti mahasiswa tersebut. Tanaman itu hanya ada di hutan Palembang, saya lupa nama spesies tanaman yang beliau sebutkan tadi. Saat itu transportasi ke Palembang dengan kapal masih bisa ditempuh dengan biaya Rp 10.000,- dan dengan penuh keikhlasan beliau tetap berangkat ke Palembang mencarikan tanaman tersebut. Akhirnya setelah tanaman itu diberikan ke mahasiswa tersebut beliau justru tidak menerima upah sedikit pun karena mahasiswa tersebut sedang tidak mempunyai uang dan beliau mengikhlaskannya asal mahasiswa tersebut lulus. Beliau menceritakan bagaimana tidak hanya untuk mahasiswa tersebut beliau sering bepergian ke hutan mencari tanaman di akhir pekan dan harus mengorbankan waktunya bersama istri dan anak-anaknya. Beliau berkata, "Kalau sudah sibuk nyari tanaman pesenan itu para mahasiswa, kadang bisa lupa hujan, juga bisa lupa daerah yang gak aman Neng...", entahlah saya benar-benar cukup tertegur dengan keikhlasan beliau mengingat diri saya yang sering kali menuntut orang lain untuk mengikuti jadwal saya dan kurang peka tentang kesulitan-kesulitan yang diterima oleh orang lain, terima kasih Pak, Anda telah membuka kembali mata saya. :'(

Beruntung hari ini saya tidak terburu-buru karena tidak terlalu sibuk, sehingga saya bisa mendengar lebih lanjut cerita pengalaman beliau. Sebelum kami pulang, ada satu cerita dan nasehat yang beliau sampaikan kepada kami, "Neng, memang kami ini cuma pegawai kecil, tapi jangan pernah remehkan yang namanya pegawai kecil kalau Neng nanti jadi orang besar, karena pegawai kecil umumnya belajar dan lebih mengerti banyak hal daripada orang besar.", dan saya pun membalas dengan pertanyaan yang sama, "Memang ada apa Pak?", dan beliau pun kembali berkisah. Ternyata tugas beliau tidak hanya sekedar mendeterminasi tanaman, tidak hanya menyediakan tanaman yang dibutuhkan para mahasiswa, tetapi beliau juga membantu menyiapkan persiapan praktikum yang selalu dijalankan mahasiswa. Suatu hari beliau pernah sakit hati, karena niat beliau untuk membagi ilmu kepada para mahasiswa ternyata dianggap tidak baik oleh salah seorang dosen yang bersikeras bahwa yang boleh disampaikan ke mahasiswa hanyalah yang sesuai modul sementara dosen tersebut tidak mampu menjelaskan kepada salah seorang mahasiswa tentang tanaman yang ingin diketahuinya, sedangkan Pak Djuandi yang selalu sukarela menjelaskan tanaman-tanaman yang tidak dimengerti mahasiswa justru dianggap lancang dan berakhir dengan makian dosen tersebut terhadap beliau di hadapan para mahasiswa. Saya cukup mengerti bagaimana perasaan niat baik kita yang tidak diterima bahkan hingga diremehkan. Rasa sakit itu membuat Pak Djuandi sempat memboikot dengan pekerjaannya, tetapi ketika beberapa asisten praktikum mengalami kesulitan karena kehilangan bantuan Pak Djuandi, akhirnya beliau tak tega melanjutkan sikap boikot itu. Kemudian saya bertanya, "Apakah dosen tersebut akhirnya minta maaf ke Bapak?", dan jawaban dari beliau, "boro-boro Neng, apalah kita orang kecil ini,.. tetapi Eneng nanti jangan seperti itu ya Neng.. kasta hidup ini tidaklah berarti Neng, Neng harus pintar-pintar menghargai orang lain, apalagi mereka yang nanti mengabdi ke Eneng..", sungguh nasehat yang langsung saya niatkan dalam hati dan janjikan bahwa saya akan menjadi salah satu orang yang suatu saat bisa bertemu kembali dengan beliau serta mengucapkan, "Pak, saya memenuhi janji saya kepada Bapak..". Amiin :)

Percakapan sore ini pun hanya bisa berlangsung sampai di nasehat bijak itu, karena masih ada mahasiswa lain yang membutuhkan bantuan beliau di depan pintu menunggu kami keluar dari ruangan. Setelah kami berpamitan dan keluar ruangan, saya dan Manda hanya bisa mengucapkan satu kalimat, "Subhanallah... mungkin belajar efektif tidak hanya dari mereka orang-orang yang sudah besar dan sukses, tetapi mereka yang mengabdi pada orang-orang sukses itulah yang lebih pintar menilai..".

Terima kasih Pak Djuandi untuk setiap nasehat hari ini. Semoga kami suatu saat mampu menjadi orang-orang yang bisa Bapak banggakan. Amin :)

4 komentar:

  1. wow, speechless. Makasih ya Ndah udah sharing.

    BalasHapus
    Balasan
    1. sama-sama Akbar.. semoga keikhlasan Pak Djunaedi bisa kita tiru.. amiin.. :)

      Hapus
    2. sama seperti di kampusku ndah, teknisi bahkan bisa lebih tau sesuatu ketimbang dosen.
      tapi karena status mereka yang bergelar 'teknisi' jadi ya mereka tidak mendapatkan apresiasi.
      padahal kalau sedang ada industri yang ingin konsultasi, pasti dosen mengajak salah satu teknisi untuk membantunya.
      heumm . .

      btw, kok kotak komentarmu ga enek ya ndah?!
      terpaksa me-reply sko komentare wong liyo kie.
      [--"]

      Hapus
    3. Sayangnya paradigma ini terlalu membudaya di masyarakat chal. Kalaupun tidak bisa mengapresiasi setidaknya sopan santun terima kasih harus diberikan lah ke mereka yang sudah membantu...

      heh... ada kok kotak komentarnya... -.-"

      Hapus