Senin, 05 Maret 2012

Pak Udin, Pedagang Gorengan Malam Di Depan Kampus

Cerita hari ini ternyata masih berlanjut, tentu saja karena saya masih melanjutkan TA saya di malam hari, hoho. Malam ini saya ada janji dengan partner TA yang ditugaskan dosen saya untuk membantu saya mengerjakan TA di malam hari. Hal ini karena fisik saya tidak mampu untuk menginap di kampus, sehingga saya dibantu kak Rachmat yang akan menggantikan tugas saya melanjutkan tugas saya yang harus menginap di kampus malam hari. Sehingga pembagian kerjanya saya kerja di siang hari, sementara kak Rachmat kerja di shift malam.

Untuk shift malam ini kak Rachmat ada sedikit pekerjaan lain yang harus dia selesaikan, sehingga saya harus menghandle pekerjaannya hingga jam 9 malam tadi. Sekitar jam 7 malam sambil menunggu kak Rachmat datang, karena saya lapar akhirnya saya memutuskan untuk mencari snack di Istek Salman. Ketika perjalanan kembali dari Istek Salman menuju kampus, saya melihat Pak Udin penjual gorengan di depan kampus sedang menjaga gerobaknya seorang diri. Mengingat Kak Rachmat sebelumnya sms saya bahwa dia baru tiba di kampus sekitar jam 8, akhirnya saya memutuskan daripada jalan-jalan sendirian di kampus yang sepi dan gelap, mungkin lebih baik jika saya menemani Pak Udin menjaga gerobaknya menunggu pembeli.

Pak Udin adalah penjual gorengan di depan kampus ITB yang sudah berusia renta, mungkin antara 70-80 tahun, tepatnya kurang tahu. Hampir semua mahasiswa ITB pasti tahu keberadaan Pak Udin yang menjajakan dagangannya di depan kampus ITB. Dalam waktu yang singkat malam ini, seperti biasa kebiasaan saya yang selalu aktif berkomunikasi dengan orang lain, membuat saya ingin mengenal Pak Udin.

Pak Udin merupakan warga asli dari Sumedang, Jawa Barat. Beliau memulai menjajakan dagangannya di depan kampus ITB sejak tahun 1990, subhanallah sama dong yah Pak dengan usia saya, :D. Pak Udin mulai mencoba mencari peruntungan rejeki di Kota Kembang ini sejak tahun 1975. Saat ini sebagian besar keluarganya tinggal di daerah Sukajadi, sementara Pak Udin sendiri bersama istrinya memilih tinggal di sekitar masjid Salman, tepatnya dimana saya tadi kurang terlalu jelas karena memang pendengaran saya cukup buruk. :(

Istri Pak Udin membantu mencari rejeki dengan membuka kios dagangan di samping masjid Salman ITB. Tetapi jangan bayangkan kios yang seperti toko yang biasa teman-teman lihat, kios ini hanya tikar dan kardus yang digunakan sebagai alas sekaligus meja untuk menaruh barang-barang dagangan mereka. Saat hujan turun mereka harus segera membongkar kios kecil itu dan berteduh di sekitar masjid Salman. Astaghfirullah, tidak malukah kita akan sikap kita yang sering kali mengeluh? melihat kenyataan ini saya merasa saya ini belum ada apa-apanya, bagaimana dengan teman-teman?.

Kembali ke cerita Pak Udin. Pak Udin selalu membuka kios gorengannya dari jam 3 sore sampai jam 2 pagi. Di usianya yang telah renta beliau masih tetap semangat untuk mencari rejeki. Miris memang, karena seharusnya di usia itu kewajiban seorang anak lah untuk menjaga serta menafkahi orang tuanya. Tetapi saya tidak tahu latar belakangnya apa, hanya satu yang pasti, saya salut dengan semangat Pak Udin. Sesaat saya menanyakan kepada beliau berapa penghasilannya setiap hari, jawaban beliau hanya, "yah gak pasti neng, kadang besar, kadang kecil, tergantung..". Dan saya tahu, tak pantas saya menanyakan lebih lanjut untuk nominalnya. Obrolan saya dengan Pak Udin ditutup dengan 2 buah cireng dan 2 buah martabak yang saya beli dari Pak Udin. Mungkin memang gorengan tidak baik untuk kesehatan, tetapi satu dua kali tidak salah kan selama tidak berlebihan? :)

Terima kasih Pak Udin atas inspirasi yang diberikan malam ini. Semoga semangatnya dapat saya pelajari dengan baik dan membuat saya lebih mantap melangkah. Semoga Allah melapangkan rejeki untuk Bapak dan menjaga Bapak agar senantiasa sehat. Amin :)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar