Minggu, 21 April 2013

"Pawon"

Akhir-akhir ini saya sering kali menghabiskan waktu saya sendirian, sehingga seringkali dimanfaatkan untuk mengenang masa lalu. Yups, tapi benar kata orang, kita sekarang ada karena kita di masa lalu. Teman-teman, kapankah kalian pertama kali menggunakan kompor dalam kehidupan kalian? saat usia berapa? atau dimana? haha, pertanyaan yang random sekali, tetapi hal ini sesuatu yang menarik ingin saya ceritakan kali ini. :)

Saya pertama kali menggunakan kompor minyak di usia 14 tahun, lalu saya pertama kali menggunakan kompor gas di usia 18 tahun, tetapi yang lebih menarik, selama 18 tahun saya menggunakan "pawon" di rumah saya. Pawon adalah bahasa jawa untuk tungku pembakaran yang digunakan untuk memasak seperti gambar di samping. Tungku di rumah saya hanya tersusun dari beberapa batu-bata yang disusun seperti gampar disamping. Selama 18 tahun, di rumah saya menggunakan pawon untuk memasak kebutuhan sehari-hari. Walaupun saat saya SMP ibu saya membeli kompor minyak, tetapi kompor tersebut tidak digunakan karena harga minyak tanah yang cukup mahal. Barulah saat minyak tanah menjadi langka dan mulai ada sosialisasi kompor gas dari pemerintah, akhirnya ibu saya mau tak mau beralih ke kompor gas. 

Ibu saya menyuruh saya membantu beliau masak sejak usia saya 5 tahun. Tetapi ibu saya mulai menyuruh saya menyalakan pawon pertama kali saat saya usia 6 tahun. Saat itu ibu saya bekerja sebagai penjahit di pabrik yang harus bekerja dari jam 8 pagi sampai 6 sore. Ibu saya tidak pernah menyuruh saya masak lauk, hanya cukup menanak nasi, untuk lauknya ibu saya yang menyiapkan. Dalam menyiapkan sarapan pagi, ibu saya selalu memasak nasi jam 5 dini hari baru ditinggal ke pasar untuk belanja. Saya juga sudah harus bangun jam 5 pagi, tugas saya adalah mengawasi api dalam pawon tidak mati dan nasi tidak gosong selama ibu saya ke pasar. Untuk makan siang, kami hanya makan dari sisa makanan yang dibuat di pagi hari. Tetapi untuk makan malam, kami harus masak kembali karena biasanya makanan yang dimasak pagi hari sudah habis. Saya selalu masak nasi untuk makan malam di jam 4 sore. Tahukah teman-teman bahwa menyalakan pawon itu tidak lah mudah? hahaha, pertama kali saya disuruh menyalakan pawon sendiri mampu membuat saya menangis karena frustasi! :D

Menyalakan pawon itu tidaklah mudah, apa aja yang harus diperhatikan:
1. Kayu
Kayu yang digunakan pastilah harus kering, gak boleh basah atau kayu muda. Di rumah saya ada tempat khusus untuk menyimpan kayu kering. Tidak harus dalam rumah khusus, biasanya cukup ditaruh di ruang seperti kandang, yang penting dapat menghindari hujan. Tempat penyimpanan kayu saya digabungkan dengan kandang ayam, jadi sering kali setiap ambil kayu juga harus bertoleransi dengan kotoran ayam yang menempel. Hahaha... kayu yang basah atau belum kering biasanya cukup dikeringkan dengan pemanasan di bawah sinar matahari langsung.
2. Susunan kayu
susunan kayu
Kita tidak bisa asal saja memasukkan kayu sebanyak-banyaknya ke pawon, biasanya untuk awal dimulai dengan cukup 3-4 buah kayu saja. Kayu-kayu tersebut dibentuk silang mengerucut kedalam. Penyilangan kayunya juga dilakukan secara satu persatu, jadi misal ada kayu a, b, c, dan d, maka susunannya seperti gambar di samping.
3. Menyalakan Api
Untuk menyalakan api, kita bisa dengan dua cara:
- Berikan sedikit minyak tanah di sekitar kayu bakar, lalu nyalakan api.
- Sisipkan beberapa daun kering lalu nyalakan api
Kedua cara tersebut selalu efektif kok, hehehe.. :)
4. Menjaga nyala api
Nah, ini bagian yang lumayan sulit? kenapa? tetap saja istilah "mempertahankan itu tak semudah mendapatkan" sangat berlaku disini, hehe. Saat kita sudah beruntung mendapat nyala api, dan api tersebut bekerja dengan baik, jangan biarkan api padam. Penjagaan nyala api dilakukan dengan:
- Penstabilan posisi kayu, jadi seperti susunan kayu sebelumnya, jika bagian yang terbakar sudah mulai meredup, saat api kecil masih ada segera atur susunan kayu ke bentuk sebelumnya.
- Jika kita terlambat menyelamatkan nyala api, jangan khawatir! selama masih ada nyala arang api semua dapat diatasi. Hehe, untuk menyalakan api dari arang api bisa dengan mengibaskan angin atau dengan memberikan daun kering. Then, kita bisa dapat nyala api baru deh, hehe. Saat saya sering kali harus menyalakan api dari arang, alat paling efektif yang saya gunakan adalah tutup panci!! haha :D

Teman-teman, menyalakan api dalam pawon tidaklah mudah, perlu kesabaran tingkat tinggi! pertama kali saya mencoba selalu gagal dan membuat saya frustasi. :D Tetapi seberat apapun itu, kita tidak boleh menyerah, karena nyala api itu sangat kita butuhkan dalam kehidupan kita. Selama 18 tahun pengalaman saya bersama pawon tersebut, setidaknya sudah banyak makanan enak yang berhasil saya masak. :)
So, inilah singkat cerita saya dengan pawon saya, haha. :D

Senin, 15 April 2013

Walau Kami Hanya Seorang Pedagang Pasar

Pada tanggal 11 Januari 2013 aku pulang ke Solo dengan naik kereta api Malabar yang tiba di stasiun Solo Balapan jam 01.15 WIB. Setibanya aku di stasiun, ayahku sudah siap di gerbang menunggu kedatanganku. Seperti biasa, jika aku pulang dengan jadwal kereta tersebut, aku dan ayahku tidak langsung pulang ke rumah, tapi mampir dulu untuk mencicipi nasi liwet dekat Pasar Nusukan favorit kami. Bukan warung yang mewah, hanya warung di pinggir jalan tanpa atap dan beralas tikar biasa, tapi kami menyukai nasi liwet itu. Di Solo, sebagian besar nasi liwet memang buka lapaknya di atas jam 12 malam. Kuliner tengah malam di Solo memang tak pernah mengecewakan, hehehe. Sehabis puas menikmati malam kuliner kami, aku dan ayahku langsung berangkat pulang ke rumah. 

Di tengah perjalanan, kami melewati sebuah pasar yang cukup terkenal di daerah kami, mulai dari Pasar Nusukan, Pasar Klodran, Pasar Dibal, hingga Pasar Manggung. Saat itu jam tanganku menunjukkan jam 01.45 WIB, dan kalian tahu hal menarik apa yang tak pernah kulewatkan? di semua pinggiran jalan pasar-pasar yang kulewati tersebut sudah banyak para pedagang mulai menggelar tikarnya. Mulai dari yang jualan bumbu dan sayur hingga yang jual peralatan dapur. Di sepanjang jalan yang kulewati, lebih dari lima kali aku bertemu dengan para pedagang dengan sepeda onthel dan keranjang di belakang sepeda mereka berangkat ke pasar. Aku bahkan tak tahu ke pasar mana mereka akan berangkat, mungkin ke pasar yang lebih jauh seperti Pasar Klewer, Pasar Kliwon, dan yang lainnya. Sebagian besar dari yang kulihat adalah ibu-ibu dan bapak-bapak di atas 30 tahun. Bahkan ada yang berada di usia senja di atas 50 tahun. Aku tahu benar sebagian besar dari orang yang kutemui tersebut adalah orang-orang yang tinggal di desa sepertiku, bahkan mungkin ada di antara mereka adalah tetanggaku, tetapi karena gelapnya malam membuatku tak mudah mengenali mereka. Jam dua pagi aku bertemu mereka di area kota, dengan kata lain mereka sudah berangkat dari rumah mereka sekitar jam 1 malam. Dari desaku untuk ke kota saja dibutuhkan 30-45 menit dengan naik sepeda.

Sebenarnya hal itu bukan hal baru juga untukku, aku pun pernah mengalaminya sendiri. Saat usiaku 8 tahun, ibuku coba banting setir dari penjahit menjadi pedagang daging ayam. Ayam-ayam itu selalu datang ke rumah kami di sore hari, lalu jam 11 malam ibuku merebus air yang akan digunakan untuk mbeteti nanti (baca: mbeteti =  menghilangkan bulu-bulu ayam). Ayahku selalu menjadi bagian yang menyembelih ayam, sisanya adalah pekerjaanku dan ibuku. Ibuku tak pernah membiarkanku ikut mbeteti kulit ayam, jadi aku selalu menjadi bagian yang menyiapkan air, buang bulu dan kotoran ayam yang sudah dibeteti, lalu menyiapkan sepeda dan keranjang ibuku. Jam dua pagi, ibuku dengan sepedanya sudah berangkat menuju pasar. Kegiatan tersebut berjalan selama kurang lebih 6-7 bulan, penghasilannya cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari kami, tapi karena fisik ibuku mulai melemah akhirnya ibuku berhenti dan kembali menjadi penjahit. Tahukah kalian pelajaran apa yang bisa kuambil dari semua cerita ini? Mari kujelaskan.. :)

Hal-hal ini muncul dalam pikiran dan perasaanku saat itu, kutanyakan pada diriku sendiri, Mengapa mereka harus berangkat sedini itu? apakah akan ada pelanggan yang datang di jam segitu?
Aku belajar dari para pedagang-pedagang pasar itu. Mereka datang ke pasar sedini itu hanya dengan satu tujuan, yaitu untuk memberikan pelayanan terbaik kepada pelanggannya. Demi para pelanggannya walau hanya satu atau dua orang yang akan datang di jam sedini itu, mereka sudah ada untuk memberikan pelayanan yang mereka butuhkan. Lalu aku bercermin pada diri sendiri, lalu bagaimana dengan diriku saat ini? aku yang hanya harus berangkat kuliah jam 7 pagi, menghabiskan waktu hanya dengan duduk di kelas dan menyerap ilmu dari dosen-dosenku, justru sering kali malas dan mengeluh. Aku malu dengan para pedagang-pedagang tersebut, mereka bertahun-tahun melakukan aktivitas keras itu, rasa syukur mereka untuk setiap rezeki yang mereka terima lebih besar dibandingkan rasa lelah yang mereka rasakan. Walau mereka tahu lelah mereka terkadang harganya lebih besar dibandingkan berapa uang yang mereka hasilkan tiap harinya, tetapi mereka tetap melakukannya, demi keluarga dan kehidupan mereka. Sekarang mana yang akan lebih kita banggakan? kehidupan pendidikan kita tapi penuh keluh kesah? atau dunia keras mereka yang penuh syukur dan perjuangan? Setiap orang di dunia ini diberi modal yang berbeda-beda untuk mempertahankan kehidupan mereka, ada yang diberi modal ilmu maupun harta, tapi ingat kedua modal tersebut tidak akan berjalan tanpa adanya satu modal yang sering kali terlupakan, yaitu modal kerja keras. Para pedagang itu, yang mungkin tak bermodal ilmu maupun harta, tetapi dengan modal kerja keras mereka mampu mempertahankan hidup mereka. The power of hardwork.

Minggu, 14 April 2013

Aku Adalah Supir Kehidupanku


Pekerjaan pasti yang dimiliki oleh semua orang adalah supir. Yups supir. Kita adalah supir dalam kehidupan kita sendiri. Kehidupan kita adalah mobil yang harus kita kendarai. Kemanakah mobil kita akan berjalan? belok kanan kah? belok kiri kah? jalan lurus kah? jalan berlubang kah? jalan tol kah? kita yang mengarahkan arah mobil kita berjalan. Lalu siapakah yang akan mengisi mobil kita? Siapa yang kita perbolehkan masuk? siapa yang kita perbolehkan keluar? siapa yang akan kita bawa sampai kita tiba di tujuan? kita lah para supir yang menentukan. Semua jalan dan semua orang di sekitar kita adalah pilihan yang diberikan oleh Allah SWT yang sering kali kita sebut sebagai nasib. Semua nasib itu pasti ingin masuk dalam mobil kita, tapi kita harus kembali ingat, kita lah yang menentukan jalur apa dan siapa yang akan kita ambil, jadi kita sendirilah sebenarnya penentu nasib kita bagaimana. Lalu setelah kita memilih jalan dan orang yang tepat untuk kita bawa dalam mobil kita, keputusan benar tidaknya pilihan kita siapa yang menentukan? jawabannya adalah Allah SWT. Kepastian dari nasib itulah yang disebut takdir. Apakah kita akan tersesat? atau mungkin kita sampai tujuan dengan selamat? atau kita mendapatkan kemudahan perjalanan? atau justru perjalanan tak nyaman dan tak sesuai harapan? itu adalah takdir. Jadi, mari kita kemudikan mobil kita masing-masing dengan baik, kita tentukan kemana dan bersama siapa mobil kita berjalan, tetapi kepastian akhir dari pilihan kita kembali serahkan pada Tuhan. :)

Selasa, 09 April 2013

Belajar atau Menggembala Kambing?

Wooww kambing... awalnya aku mau menulis ini karena tadi siang menonton berita di TV tentang peternakan domba di daerah Garut, Ooppss tapi tulisanku kali ini bukan tentang domba-domba di Garut itu.. hehe tetapi sedikit tentang nasehat ibuku saat kecil. :)

Salah satu cara unik ibuku mendidikku adalah dengan membiarkanku langsung mencicipi suatu pengalaman, mengambil pelajaran dari pengalaman itu, dan membebaskanku untuk memutuskan dari pengalaman itu. Saat aku kelas 1 SD, aku termasuk anak yang malaaaaassss sekali belajar! Rankingku saat itu berturut-turut selama 3 caturwulan adalah 9, 11, dan 15... hahhaha parahnya itu dari 18 anak di kelas  cuy!! Bukannya tobat dan rajin belajar, aku justru semakin susah disuruh belajar. Akhirnya ibuku yang tak pernah memelihara kambing di rumah kami, karena geram dengan tingkah lakuku langsung membeli dua ekor kambing. Hahaha buat apakah kambing-kambing itu?? sayangnya kambing-kambing itu tidak untuk dimasak jadi sate atau gulai kambing, tetapi benar-benar untuk dikembangbiakkan. O_o
Fyuhhh~~ saat kambing-kambing itu tiba di rumah, aku tahu hari-hari beratku telah tiba.. Oh ibundaku sayaaaang.... -___-"

Ibu: "Nduk, kambing butuh apa?"
Me: "Butuh makan rumput bu..."
Ibu: "Karena ibu sibuk kerja jahit, kamu ya yang gembala kambing ke sawah buat makan tiap pulang sekolah.. Sama bersihin kandangnya ya...."
Me: "Nggih bu..." (seperti biasa, aku tidak bisa menolak permintaan ibuku.. #mewek di pojokan)

Di hari pertama kambing-kambing itu datang aku langsung dengan sigap menggembalanya ke sawah. Setiap hari aku menikmati hari-hariku bersama kambing-kambing itu di sawah dengan bernyanyi dan bermain. Aku senang kalau kambing-kambing itu tidak nakal, tapi aku sangat tidak suka kalau kambing-kambing itu sudah mulai lari ke sawah dan memakan hasil pertanian di sawah, yang ada akulah yang kena marah karena sering kali aku lalai keasyikan main. Aku lebih tak suka lagi saat harus membersihkan kandang,.. euhmmmm baunyaaa... (T_T).. akhirnya pudar sudah kebahagiaanku bersama kambing-kambing itu. Aku tak berani mengeluh di depan ibuku, setelah 3 bulan berlalu akhirnya ibuku berkata padaku,

Ibu: "Gimana Nduk, capek gak??"
Me: "Capek apa bu?"
Ibu: "Capek ngurusin kambing?"
Me: "Enggak..." (mencoba tidak ingin membuat ibuku kecewa, tapi seperti biasa, ekspresiku mudah sekali untuk dibaca ibuku..)
Ibu: "Pilih belajar atau ngurusin kambing?"
Me: "Ibuuu.. aku mau belajar aja..."
Ibu: "Hahaha.., makanya, kamu sih disuruh belajar gak mau, makanya ibu suruh ngurusin kambing..." (tampak senyum puas di wajah ibuku), lanjut ibuku kemudian, "Nduk... belajar itu berat, tapi itu tak seberat ngurusin kambing kan? Nduk.. ibu cuma pengen kamu jadi orang yang berpendidikan.. ibu ini cuma petani dan peternak.. tapi ibu tak berpendidikan, kalau pun nanti kamu jadi petani setidaknya kamu harus punya pendidikan.. walau ibu tetap pengen kamu tidak jadi petani seperti ibu, makanya ibu sekolahin kamu biar kamu bisa kuat ilmu dan kuat wawasan biar kamu bisa jadi orang yang lebih baik... Jika kamu tak berilmu, maka kamu bisa jadi kayak kambing-kambing itu yang harus digiring arahnya berjalan oleh orang lain..."
Me: "Nggih bu.." and then i hugged my mom lovely... :)

Walau sebenarnya aku tidak bisa mendeskripsikan apa itu "jadi orang yang lebih baik..."? dan satu yang kuyakini menjadi orang yang baik bukanlah mereka yang berharta dunia melimpah, tetapi mereka yang berkaya hati dan ilmu... bahkan menurutku petani pun adalah orang yang lebih baik dibandingkan para pejabat pemakan harta rakyat. Karena mereka mempunyai hati. Aku bisa berkata seperti itu karena aku bisa membedakan mana yang baik dan mana yang salah, aku bisa menilai kebaikan dan kesalahan karena aku mempunyai ilmu, aku mempunyai ilmu karena ibuku mengajariku untuk menuntut ilmu. Jadi, siapa mau belajar?? aku mau!!! :)

Rabu, 03 April 2013

Aku dan Ketakutanku...

Siapa yang bisa mengetahui kapan kematian datang kepada dirinya? Namaku Indah Prihatin, mereka bilang namaku mempengaruhi kehidupanku, membuatku menjadi tak beruntung. Tapi siapa yang bisa mengukur keberuntungan? Kemarin, 2 April 2013, di usiaku yang tercatat 22 tahun 5 bulan 22 hari, aku kembali terselamatkan dari beberapa centi kematian. Apakah aku harus mengatakan itu sebagai ketidakberuntungan? atau justru sebuah keberuntungan? Aku hanya mensyukuri aku masih diberi kesempatan untuk kembali bernafas, kembali tersenyum, dan kembali mendengar suara ibuku. Allah bukan satu kali ini menyelamatkanku dari kematian, atau mungkin memang sebelumnya belum waktunya kematian datang untukku. Aku bukan pemberani yang tak takut menghadapi kematian, aku takut dan belum siap menghadapi kematian. Sayangnya walaupun aku tak menginginkannya, tetapi seolah kematian itu selalu datang mendekatiku.

Saat usiaku 12 hari, kematian mencoba mendekatiku dengan menimbunku dan ibuku dalam runtuhan rumah karena badai hujan. Dua belas hari, sepertinya terlalu dini untukku, dan Allah menyelamatkanku dengan perlindungan ibuku aku berhasil meloloskan diri dari tragedi itu. Saat usiaku 1 tahun, aku jatuh dari sepeda ibuku, aku yang terlempar ke jalan raya hanya beberapa senti hampir terlindas oleh truk. Saat usiaku 2 tahun, aku terkena paru-paru basah yang membuatku opname di rumah sakit, dengan sistem pengobatan saat itu yang sudah mulai membaik, paru-paruku kembali diberi kesempatan untuk menghirup udara. Saat usiaku 5 tahun, kepalaku terbacok sabit karena ketidakhati-hatian tanteku, saat itu darahku memenuhi air sumur nenekku dan membuatnya berubah warna merah seluruhnya. Luka itu meninggalkan bekas yang terukir utuh di kepalaku. Allah menyelamatkanku dengan mendatangkan nenekku untuk menolongku saat itu. Sejak usiaku 6 tahun hingga 14 tahun, aku mempunyai anemia akut yang akan selalu membuatku berwajah pucat dan pingsan sewaktu-waktu. Ketika tubuhku semakin lemah, aku semakin ingin menghapusnya dari diriku. Aku pun akhirnya memaksa diriku beraktivitas banyak karena egoku yang tak ingin tampak lemah di mata teman-temanku. Berhasilkah? tidak.. hingga hari ini pun aku masih mempunyai anemia itu. Saat aku mulai menginjak bangku SMP (saat usiaku 12 tahun) aku mengalami serangan pertama epilepsi. Aku terlalu sombong untuk mengakui bahwa aku sakit, aku selalu meyakinkan dan mengatakan pada diriku bahwa itu bukan apa-apa, aku baik-baik saja, aku menutupi kenyataan bahwa aku sakit. Sejak hari itu hampir sebulan sekali kematian selalu mencoba mendekatiku. Saat kekambuhan itu selalu datang, aku selalu takut apakah aku masih akan diberi kesempatan untuk bangun. Tetapi ketakutan itu selalu kurasakan setelah aku tersadar dari pingsan dan kejang. Aku tak pernah mengalami serangan epilepsi dalam kondisi sadar. Serangan itu selalu datang saat aku tidur dan seringnya diawali dengan pingsan terlebih dahulu. Serangan-serangan itu selalu membuatku takut saat memejamkan mata, aku memohon perlindungan-Nya dalam tidurku. Serangan-serangan itu selalu datang saat aku di rumah, saat aku di gunung, saat aku di kelas, dia akan selalu membayang-bayangiku kapanpun dan dimanapun aku berada. Aku akan selalu dekat dengan kematian. Hingga hasil-hasil lab yang ditunjukkan di usiaku yang ke-19 bahwa aku memang harus menerima kenyataan, aku berbeda, aku spesial bersama penyakit itu.

Kemarin, 2 April 2013. Pertama kalinya serangan itu datang dalam kondisi tubuhku tersadar. Ia datang dengan mengontraksi otot-otot dadaku dan membuatku bahkan sulit untuk menghirup satu kali nafas. Ia perlahan-lahan menegangkan otot tanganku, perutku, kakiku, dan kepalaku. Aku tak bisa bernafas, aku kesakitan, dadaku sakit, aku takut otot jantungku juga berhenti, aku hanya bisa meraung memohon pertolongan-Nya, dan aku hanya bisa menangis. Epilepsi, aku tak menyukainya, jujur aku tak menyukainya, untuk pertama kalinya aku sangat membencinya. Ia membuatku hidup dengan penuh bayangan bahwa ia akan menyerangku sewaktu-waktu, dan setelah kejadian kemarin, mungkin aku akan lebih senang merasakannya saat tubuhku tak sadar, karena sakit rasanya seluruh tubuhku dilumpuhkan dengan cara yang menyakitkan. Allah kembali menyelamatkanku melalui kepedulian sahabat-sahabatku dan segala pertolongan medis itu, aku benar-benar takut akan kematian, banyak alasan aku tak mampu menghadapi kematian. Mereka bilang, manusia adalah pengendali, dan kini aku dibingungkan oleh kepastian siapa atau apa yang menjadi pengendali terkuat? aku mencoba mengendalikan epilepsi itu dengan obat-obatan yang bahkan akan selalu kuminum seumur hidup, apakah berarti aku lah pengendali terkuat? atau justru kita melihatnya dari kacamata lain? epilepsi lah yang mengendalikanku? tanpa obat aku tak akan pernah menang darinya, ia mengungkungku dalam penjara bernama obat.

Katakan padaku, apakah aku mengeluh? bolehkan aku untuk mengeluh satu kali ini, karena mulai esok aku dengan seluruh keegoanku akan kembali berkata pada diriku, "aku baik-baik saja, aku akan menjalani hari dengan penuh semangat dan senyuman seperti biasanya, aku punya motivasi untuk bertahan! aku tak berbeda, aku hanya diberi sesuatu yang spesial dan aku harus mensyukurinya!". Jadi, biarkan aku mengeluh satu kali ini saja, karena aku benar-benar takut kematian itu kembali datang dengan rasa sakit yang tak bisa kuatasi seperti kemarin, karena aku akan menjalani hari-hariku dalam penjara obat-obatan itu. Kematian itu akan selalu datang, bagaimana caranya, itu hanyalah rahasia Tuhan. Ya Rabb, jaga aku dalam perlindungan dan kasih sayang-Mu... amiin.