Rabu, 03 April 2013

Aku dan Ketakutanku...

Siapa yang bisa mengetahui kapan kematian datang kepada dirinya? Namaku Indah Prihatin, mereka bilang namaku mempengaruhi kehidupanku, membuatku menjadi tak beruntung. Tapi siapa yang bisa mengukur keberuntungan? Kemarin, 2 April 2013, di usiaku yang tercatat 22 tahun 5 bulan 22 hari, aku kembali terselamatkan dari beberapa centi kematian. Apakah aku harus mengatakan itu sebagai ketidakberuntungan? atau justru sebuah keberuntungan? Aku hanya mensyukuri aku masih diberi kesempatan untuk kembali bernafas, kembali tersenyum, dan kembali mendengar suara ibuku. Allah bukan satu kali ini menyelamatkanku dari kematian, atau mungkin memang sebelumnya belum waktunya kematian datang untukku. Aku bukan pemberani yang tak takut menghadapi kematian, aku takut dan belum siap menghadapi kematian. Sayangnya walaupun aku tak menginginkannya, tetapi seolah kematian itu selalu datang mendekatiku.

Saat usiaku 12 hari, kematian mencoba mendekatiku dengan menimbunku dan ibuku dalam runtuhan rumah karena badai hujan. Dua belas hari, sepertinya terlalu dini untukku, dan Allah menyelamatkanku dengan perlindungan ibuku aku berhasil meloloskan diri dari tragedi itu. Saat usiaku 1 tahun, aku jatuh dari sepeda ibuku, aku yang terlempar ke jalan raya hanya beberapa senti hampir terlindas oleh truk. Saat usiaku 2 tahun, aku terkena paru-paru basah yang membuatku opname di rumah sakit, dengan sistem pengobatan saat itu yang sudah mulai membaik, paru-paruku kembali diberi kesempatan untuk menghirup udara. Saat usiaku 5 tahun, kepalaku terbacok sabit karena ketidakhati-hatian tanteku, saat itu darahku memenuhi air sumur nenekku dan membuatnya berubah warna merah seluruhnya. Luka itu meninggalkan bekas yang terukir utuh di kepalaku. Allah menyelamatkanku dengan mendatangkan nenekku untuk menolongku saat itu. Sejak usiaku 6 tahun hingga 14 tahun, aku mempunyai anemia akut yang akan selalu membuatku berwajah pucat dan pingsan sewaktu-waktu. Ketika tubuhku semakin lemah, aku semakin ingin menghapusnya dari diriku. Aku pun akhirnya memaksa diriku beraktivitas banyak karena egoku yang tak ingin tampak lemah di mata teman-temanku. Berhasilkah? tidak.. hingga hari ini pun aku masih mempunyai anemia itu. Saat aku mulai menginjak bangku SMP (saat usiaku 12 tahun) aku mengalami serangan pertama epilepsi. Aku terlalu sombong untuk mengakui bahwa aku sakit, aku selalu meyakinkan dan mengatakan pada diriku bahwa itu bukan apa-apa, aku baik-baik saja, aku menutupi kenyataan bahwa aku sakit. Sejak hari itu hampir sebulan sekali kematian selalu mencoba mendekatiku. Saat kekambuhan itu selalu datang, aku selalu takut apakah aku masih akan diberi kesempatan untuk bangun. Tetapi ketakutan itu selalu kurasakan setelah aku tersadar dari pingsan dan kejang. Aku tak pernah mengalami serangan epilepsi dalam kondisi sadar. Serangan itu selalu datang saat aku tidur dan seringnya diawali dengan pingsan terlebih dahulu. Serangan-serangan itu selalu membuatku takut saat memejamkan mata, aku memohon perlindungan-Nya dalam tidurku. Serangan-serangan itu selalu datang saat aku di rumah, saat aku di gunung, saat aku di kelas, dia akan selalu membayang-bayangiku kapanpun dan dimanapun aku berada. Aku akan selalu dekat dengan kematian. Hingga hasil-hasil lab yang ditunjukkan di usiaku yang ke-19 bahwa aku memang harus menerima kenyataan, aku berbeda, aku spesial bersama penyakit itu.

Kemarin, 2 April 2013. Pertama kalinya serangan itu datang dalam kondisi tubuhku tersadar. Ia datang dengan mengontraksi otot-otot dadaku dan membuatku bahkan sulit untuk menghirup satu kali nafas. Ia perlahan-lahan menegangkan otot tanganku, perutku, kakiku, dan kepalaku. Aku tak bisa bernafas, aku kesakitan, dadaku sakit, aku takut otot jantungku juga berhenti, aku hanya bisa meraung memohon pertolongan-Nya, dan aku hanya bisa menangis. Epilepsi, aku tak menyukainya, jujur aku tak menyukainya, untuk pertama kalinya aku sangat membencinya. Ia membuatku hidup dengan penuh bayangan bahwa ia akan menyerangku sewaktu-waktu, dan setelah kejadian kemarin, mungkin aku akan lebih senang merasakannya saat tubuhku tak sadar, karena sakit rasanya seluruh tubuhku dilumpuhkan dengan cara yang menyakitkan. Allah kembali menyelamatkanku melalui kepedulian sahabat-sahabatku dan segala pertolongan medis itu, aku benar-benar takut akan kematian, banyak alasan aku tak mampu menghadapi kematian. Mereka bilang, manusia adalah pengendali, dan kini aku dibingungkan oleh kepastian siapa atau apa yang menjadi pengendali terkuat? aku mencoba mengendalikan epilepsi itu dengan obat-obatan yang bahkan akan selalu kuminum seumur hidup, apakah berarti aku lah pengendali terkuat? atau justru kita melihatnya dari kacamata lain? epilepsi lah yang mengendalikanku? tanpa obat aku tak akan pernah menang darinya, ia mengungkungku dalam penjara bernama obat.

Katakan padaku, apakah aku mengeluh? bolehkan aku untuk mengeluh satu kali ini, karena mulai esok aku dengan seluruh keegoanku akan kembali berkata pada diriku, "aku baik-baik saja, aku akan menjalani hari dengan penuh semangat dan senyuman seperti biasanya, aku punya motivasi untuk bertahan! aku tak berbeda, aku hanya diberi sesuatu yang spesial dan aku harus mensyukurinya!". Jadi, biarkan aku mengeluh satu kali ini saja, karena aku benar-benar takut kematian itu kembali datang dengan rasa sakit yang tak bisa kuatasi seperti kemarin, karena aku akan menjalani hari-hariku dalam penjara obat-obatan itu. Kematian itu akan selalu datang, bagaimana caranya, itu hanyalah rahasia Tuhan. Ya Rabb, jaga aku dalam perlindungan dan kasih sayang-Mu... amiin.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar