Senin, 15 April 2013

Walau Kami Hanya Seorang Pedagang Pasar

Pada tanggal 11 Januari 2013 aku pulang ke Solo dengan naik kereta api Malabar yang tiba di stasiun Solo Balapan jam 01.15 WIB. Setibanya aku di stasiun, ayahku sudah siap di gerbang menunggu kedatanganku. Seperti biasa, jika aku pulang dengan jadwal kereta tersebut, aku dan ayahku tidak langsung pulang ke rumah, tapi mampir dulu untuk mencicipi nasi liwet dekat Pasar Nusukan favorit kami. Bukan warung yang mewah, hanya warung di pinggir jalan tanpa atap dan beralas tikar biasa, tapi kami menyukai nasi liwet itu. Di Solo, sebagian besar nasi liwet memang buka lapaknya di atas jam 12 malam. Kuliner tengah malam di Solo memang tak pernah mengecewakan, hehehe. Sehabis puas menikmati malam kuliner kami, aku dan ayahku langsung berangkat pulang ke rumah. 

Di tengah perjalanan, kami melewati sebuah pasar yang cukup terkenal di daerah kami, mulai dari Pasar Nusukan, Pasar Klodran, Pasar Dibal, hingga Pasar Manggung. Saat itu jam tanganku menunjukkan jam 01.45 WIB, dan kalian tahu hal menarik apa yang tak pernah kulewatkan? di semua pinggiran jalan pasar-pasar yang kulewati tersebut sudah banyak para pedagang mulai menggelar tikarnya. Mulai dari yang jualan bumbu dan sayur hingga yang jual peralatan dapur. Di sepanjang jalan yang kulewati, lebih dari lima kali aku bertemu dengan para pedagang dengan sepeda onthel dan keranjang di belakang sepeda mereka berangkat ke pasar. Aku bahkan tak tahu ke pasar mana mereka akan berangkat, mungkin ke pasar yang lebih jauh seperti Pasar Klewer, Pasar Kliwon, dan yang lainnya. Sebagian besar dari yang kulihat adalah ibu-ibu dan bapak-bapak di atas 30 tahun. Bahkan ada yang berada di usia senja di atas 50 tahun. Aku tahu benar sebagian besar dari orang yang kutemui tersebut adalah orang-orang yang tinggal di desa sepertiku, bahkan mungkin ada di antara mereka adalah tetanggaku, tetapi karena gelapnya malam membuatku tak mudah mengenali mereka. Jam dua pagi aku bertemu mereka di area kota, dengan kata lain mereka sudah berangkat dari rumah mereka sekitar jam 1 malam. Dari desaku untuk ke kota saja dibutuhkan 30-45 menit dengan naik sepeda.

Sebenarnya hal itu bukan hal baru juga untukku, aku pun pernah mengalaminya sendiri. Saat usiaku 8 tahun, ibuku coba banting setir dari penjahit menjadi pedagang daging ayam. Ayam-ayam itu selalu datang ke rumah kami di sore hari, lalu jam 11 malam ibuku merebus air yang akan digunakan untuk mbeteti nanti (baca: mbeteti =  menghilangkan bulu-bulu ayam). Ayahku selalu menjadi bagian yang menyembelih ayam, sisanya adalah pekerjaanku dan ibuku. Ibuku tak pernah membiarkanku ikut mbeteti kulit ayam, jadi aku selalu menjadi bagian yang menyiapkan air, buang bulu dan kotoran ayam yang sudah dibeteti, lalu menyiapkan sepeda dan keranjang ibuku. Jam dua pagi, ibuku dengan sepedanya sudah berangkat menuju pasar. Kegiatan tersebut berjalan selama kurang lebih 6-7 bulan, penghasilannya cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari kami, tapi karena fisik ibuku mulai melemah akhirnya ibuku berhenti dan kembali menjadi penjahit. Tahukah kalian pelajaran apa yang bisa kuambil dari semua cerita ini? Mari kujelaskan.. :)

Hal-hal ini muncul dalam pikiran dan perasaanku saat itu, kutanyakan pada diriku sendiri, Mengapa mereka harus berangkat sedini itu? apakah akan ada pelanggan yang datang di jam segitu?
Aku belajar dari para pedagang-pedagang pasar itu. Mereka datang ke pasar sedini itu hanya dengan satu tujuan, yaitu untuk memberikan pelayanan terbaik kepada pelanggannya. Demi para pelanggannya walau hanya satu atau dua orang yang akan datang di jam sedini itu, mereka sudah ada untuk memberikan pelayanan yang mereka butuhkan. Lalu aku bercermin pada diri sendiri, lalu bagaimana dengan diriku saat ini? aku yang hanya harus berangkat kuliah jam 7 pagi, menghabiskan waktu hanya dengan duduk di kelas dan menyerap ilmu dari dosen-dosenku, justru sering kali malas dan mengeluh. Aku malu dengan para pedagang-pedagang tersebut, mereka bertahun-tahun melakukan aktivitas keras itu, rasa syukur mereka untuk setiap rezeki yang mereka terima lebih besar dibandingkan rasa lelah yang mereka rasakan. Walau mereka tahu lelah mereka terkadang harganya lebih besar dibandingkan berapa uang yang mereka hasilkan tiap harinya, tetapi mereka tetap melakukannya, demi keluarga dan kehidupan mereka. Sekarang mana yang akan lebih kita banggakan? kehidupan pendidikan kita tapi penuh keluh kesah? atau dunia keras mereka yang penuh syukur dan perjuangan? Setiap orang di dunia ini diberi modal yang berbeda-beda untuk mempertahankan kehidupan mereka, ada yang diberi modal ilmu maupun harta, tapi ingat kedua modal tersebut tidak akan berjalan tanpa adanya satu modal yang sering kali terlupakan, yaitu modal kerja keras. Para pedagang itu, yang mungkin tak bermodal ilmu maupun harta, tetapi dengan modal kerja keras mereka mampu mempertahankan hidup mereka. The power of hardwork.

2 komentar:

  1. huwaaa ikut terharu..salam blogwalking :)

    BalasHapus
    Balasan
    1. makasih arif sudah berkunjung ke blogku... salam blogwalking.. :)

      Hapus